Rabu, 06 Juli 2011

Wanita yang Pertama Masuk Surga


Suatu ketika, Fatimah Az-Zahra (putri Rasulullah SAW) bertanya kepada ayahnya (Rasulullah SAW). “Siapakah wanita yang kelak pertama kali masuk surga?”. Rasulullah SAW menjawab, "dia adalah seorang wanita yang bernama Muti'ah.”

Fatimah terkejut, ternyata bukan dirinya yang memasuki surga pertama kali seperti yang pernah dibayangkan olehnya. Fatimah bertanya-tanya di dalam hati, mengapa bukan dirinya, tetapi justru orang lain, padahal dia adalah putri seorang Rasul Allah. Maka, timbul keinginan pada diri Fatimah untuk mengetahui siapakah sesungguhnya perempuan (yang bernama Muti’ah) itu. Dan apakah (kelebihan) yang telah diperbuatnya sehingga dia mendapat kehormatan dari Rasulullah SAW sebagai wanita yang pertama kali masuk surga.

Setelah meminta izin kepada suaminya (Ali Bin Abi Thalib r.a), Fatimah kemudian berangkat untuk mencari tahu rumah kediaman Muti'ah. Putranya yang masih kecil yang bernama Hasan diajak ikut serta mengunjungi Muti’ah. Ketika telah sampai di rumah Muti'ah, Fatimah mengetuk pintu seraya memberi salam, "Assalaamu'alaikum." "Wa'alaikumussalaam, siapa di luar?" terdengar jawaban yang lemah lembut dari dalam rumah. Suaranya cerah dan merdu. "Saya Fatimah, Putri Rasulullah," sahut Fatimah kembali. "Alhamdulillah, alangkah bahagianya saya hari ini, Fatimah putri Rasulullah sudi berkunjung ke gubuk saya." terdengar kembali jawaban dari dalam. Suara itu terdengar ceria dan semakin mendekat ke pintu. "sendirian Fatimah?" tanya seorang perempuan sebaya dengan Fatimah, yaitu Muti'ah seraya membukakan pintu. "Aku ditemani putraku, Hasan." jawab Fatimah. "Aduh maaf ya." kata Muti'ah, suaranya terdengar menyesal. “saya belum mendapat izin dari suami saya untuk menerima tamu laki-laki". "Tapi Hasan kan masih kecil?" jelas Fatimah. "Meskipun (masih) kecil, Hasan adalah seorang laki-laki. Besok saja Anda datang lagi ya? Saya akan meminta izin dulu kepada suami saya." jawab Muti’ah dengan nada yang terdengar menyesal.

Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Fatimah pun pamit dan kembali pulang.
Keesokan harinya, Fatimah datang lagi ke rumah Muti’ah, kali ini Fatimah ditemani oleh Hasan dan Husain. Mereka bertiga mendatangi rumah Muti’ah. Setelah memberi salam dan dijawab gembira (oleh Muti’ah), masih dari dalam rumah, Muti’ah bertanya (kepada Fatimah), "kau masih ditemani oleh Hasan, Fatimah? Suami saya sudah memberi izin”. “Saya ditemani Hasan dan Husain” jawab Fatimah. "kenapa kemarin tidak bilang (kalau) dengan Husain? Saya hanya mendapat izin (dari suami saya) cuma Hasan sedangkan Husain belum (mendapat izin). Terpaksa saya tidak bisa menerimanya," dengan perasaan menyesal Muti’ah kali ini juga menolak mengajak masuk Fatimah ke rumahnya.

Dan keesokan harinya, Fatimah kembali lagi (ke rumah Muti’ah), mereka disambut baik oleh perempuan itu dirumahnya. Keadaan rumah Muti’ah sangatlah sederhana, tak ada satupun perabot mewah yang menghiasi rumah itu. Namun, semuanya tertata dengan teratur dan rapih. Tempat tidur yang terbuat dari kayu kasar juga terlihat bersih, alasnya yang putih, dan terlihat baru dicuci. Bau dalam ruangan itu harum dan sangat segar, membuat orang betah tinggal di rumah tersebut. Fatimah sangat kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu, sehingga Hasan dan Husain yang biasanya tak begitu betah berada di rumah orang lain, kali ini mereka nampak betah dan asyik sekali bermain-main.

"Maaf ya, saya tidak bisa menemani Fatimah duduk dengan tenang, sebab saya harus menyiapkan makanan untuk suami saya" kata Muti’ah sambil mondar-mandir dari dapur menuju ruang tamu. Menjelang tengah hari, masakan itu sudah siap semuanya, kemudian ditaruh di atas nampan. Kemudian Muti’ah mengambil cambuk dan meletakkannya di atas nampan disamping makanan tersebut. "Suamimu bekerja dimana?" Tanya Fatimah. "di ladang." jawab Muti’ah. "(suami mu) pengembala?" tanya Fatimah lagi. "Bukan, (suami ku) bercocok tanam". "tetapi, mengapa kau bawakan cambuk?" tanya Fatimah. "Cambuk itu ku sediakan untuk keperluan lain. Maksudnya begini, kalau suami saya sedang makan, lalu kutanyakan kepadanya apakah masakan saya cocok (enak) atau tidak. Kalau dia mengatakan cocok, maka tak apa-apa. Tetapi kalau dia mengatakan tidak cocok, cambuk itu akan saya berikan kepadanya, agar punggung saya dicambuknya, sebab berarti saya tidak bisa melayani suami dengan baik dan menyenangkan hatinya". "Apakah itu kehendak suamimu?" tanya Fatimah keheranan. "Oh, bukan, Suami saya adalah seseorang yang lembut dan penuh kasih sayang. Ini saya lakukan karena kehendak ku sendiri, agar aku jangan sampai menjadi istri yang durhaka kepada suami." jawab Muti’ah.

Mendengar penjelasan (dari Muti’ah) itu, Fatimah menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia memohon diri, selanjutnya pamit pulang. "Pantas kalau Muti’ah kelak menjadi seorang perempuan yang pertama kali masuk surga." kata Fatimah di dalam hati, di tengah perjalannya pulang. "Dia sungguh sangat berbakti sekali kepada suami dengan tulus”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar