Minggu, 24 Juli 2011

Hal yang Membuat Para Nabi dan Syuhada Merasa Iri

Dari Abu Malik Al-Asy’ary, bahwa suatu ketika, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyelesaikan sholatnya, maka beliau menghadap ke arah orang-orang dan bersabda, ”Wahai manusia, dengarkan, pikirkan, dan amalkanlah. Sesungguhnya Allah azza wajalla memiliki hamba-hamba, yang mereka itu bukan para nabi dan bukan pula syuhada’, namun para nabi dan syuhada’ berharap seperti diri mereka, yang duduk bersanding dan dekat dengan Allah.“  
Lalu datang seorang arab Badui di pinggir kerumunan orang-orang lalu menunjukkan jarinya ke arah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya berkata, ”Wahai nabi Allah, ada orang-orang yang mereka itu bukan nabi dan bukan pula syuhada’, yang para nabi dan syuhada’ itu berharap sekiranya seperti mereka, karena kedekatan mereka dengan Allah. Beritahukanlah kepada kami bagaimana gambaran mereka?“  Wajah beliau tampak berseri karena pertanyaan orang Badui tersebut.  Maka beliau menjawab, ”Mereka adalah orang-orang yang tak pernah dikenal dan terasing dari keluarga dan kabilahnya. Mereka tidak diikat oleh hubungan kekerabatan, namun mereka saling mencintai karena Allah dan saling rukun. Allah meletakkan bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya, lalu mendudukkan mereka di atasnya. Lalu Allah membuat wajah mereka dari cahaya, membuat pakaian mereka dari cahaya, membuat manusia heran terhadap mereka pada hari Kiamat, sementara mereka sendiri tidak heran. Mereka adalah para Wali Allah yang tiada ketakutan atas diri mereka, dan mereka tidak bersedih hati.“ (Musnad Imam Ahmad, 5/243)


Dalam hadits lain dikatakan, “Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya, didalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya, dari wajah-wajah mereka bercahaya, mereka bukan para Nabi ataupun Syuhada. Para Nabi dan syuhada iri kepada mereka”.  Ketika ditanya para sahabat, “Siapakah mereka ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah dan saling berkunjung karena Allah.” (HR Tirmidzi)

Kamis, 21 Juli 2011

6 Hal Untuk Menyempurnakan Keshalihan Amal

1.        Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT dan takut kepada kemurkaan-Nya.

2.        Berbaik sangka terhadap sesama muslim.

3.       Menyibukkan diri dengan aib sendiri, sehingga ia tidak sempat memperhatikan aib orang lain.

4.   Menutupi aib saudaranya dan tidak menyebarkannya kepada orang lain, dengan harapan saudaranya tersebut mau meninggalkan perbuatan maksiat dan memperbaiki perilakunya yang tidak baik itu.

5.  Menganggap amal yang ia kerjakan masih kurang, sehingga ia terdorong untuk senantiasa meningkatkannya.

6.        Berteman dengan orang yang ia anggap benar.

Rabu, 13 Juli 2011

Doa Berbuka Puasa yang Shahih

Banyak dari kita yang membaca doa “Allohumma lakasumtu wa bika amantu...” ketika berbuka puasa. Padahal, doa tersebut adalah hadits dho’if. Karena hadits tersebut diriwayatkan secara mursal (tabi’in meriwayatkan dari Rasulullah SAW). Padahal seperti yang kita tahu, tabi’in itu tidak bertemu dengan Rasulullah SAW, lalu bagaimana bisa seorang tabi’in mendengar sabda Rasulullah SAW secara langsung?

Inilah doa berbuka puasa yang shahih dan insya Allah dapat dipertanggung jawabkan,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
Dzahabazh zhomau wab tallatil ‘uruq wa tsabatal ajru insya Allah
“Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah serta pahala telah ditetapkan, insya Allah” (HR.Abu Dawud)

Kamis, 07 Juli 2011

Cinta kepada yang Lima dan Lupa akan Lima

Rasulullah SAW bersabda,

“Akan datang waktunya ummatku (yang) akan mencintai lima (dan) lupa kepada yang lima,

1.    Mereka cinta kepada dunia. Tetapi mereka lupa kepada akhirat.
2.    Mereka cinta kepada harta benda. Tetapi mereka lupa kepada hisab.
3.    Mereka cinta kepada (sesama) makhluk. Tetapi mereka lupa kepada al-Khaliq Allah SWT.
4.    Mereka cinta kepada (perbuatan) dosa. Tetapi mereka lupa untuk bertaubat.
5.    Mereka cinta kepada gedung-gedung mewah. Tetapi mereka lupa kepada kubur.”  

Rabu, 06 Juli 2011

Wanita yang Pertama Masuk Surga


Suatu ketika, Fatimah Az-Zahra (putri Rasulullah SAW) bertanya kepada ayahnya (Rasulullah SAW). “Siapakah wanita yang kelak pertama kali masuk surga?”. Rasulullah SAW menjawab, "dia adalah seorang wanita yang bernama Muti'ah.”

Fatimah terkejut, ternyata bukan dirinya yang memasuki surga pertama kali seperti yang pernah dibayangkan olehnya. Fatimah bertanya-tanya di dalam hati, mengapa bukan dirinya, tetapi justru orang lain, padahal dia adalah putri seorang Rasul Allah. Maka, timbul keinginan pada diri Fatimah untuk mengetahui siapakah sesungguhnya perempuan (yang bernama Muti’ah) itu. Dan apakah (kelebihan) yang telah diperbuatnya sehingga dia mendapat kehormatan dari Rasulullah SAW sebagai wanita yang pertama kali masuk surga.

Setelah meminta izin kepada suaminya (Ali Bin Abi Thalib r.a), Fatimah kemudian berangkat untuk mencari tahu rumah kediaman Muti'ah. Putranya yang masih kecil yang bernama Hasan diajak ikut serta mengunjungi Muti’ah. Ketika telah sampai di rumah Muti'ah, Fatimah mengetuk pintu seraya memberi salam, "Assalaamu'alaikum." "Wa'alaikumussalaam, siapa di luar?" terdengar jawaban yang lemah lembut dari dalam rumah. Suaranya cerah dan merdu. "Saya Fatimah, Putri Rasulullah," sahut Fatimah kembali. "Alhamdulillah, alangkah bahagianya saya hari ini, Fatimah putri Rasulullah sudi berkunjung ke gubuk saya." terdengar kembali jawaban dari dalam. Suara itu terdengar ceria dan semakin mendekat ke pintu. "sendirian Fatimah?" tanya seorang perempuan sebaya dengan Fatimah, yaitu Muti'ah seraya membukakan pintu. "Aku ditemani putraku, Hasan." jawab Fatimah. "Aduh maaf ya." kata Muti'ah, suaranya terdengar menyesal. “saya belum mendapat izin dari suami saya untuk menerima tamu laki-laki". "Tapi Hasan kan masih kecil?" jelas Fatimah. "Meskipun (masih) kecil, Hasan adalah seorang laki-laki. Besok saja Anda datang lagi ya? Saya akan meminta izin dulu kepada suami saya." jawab Muti’ah dengan nada yang terdengar menyesal.

Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Fatimah pun pamit dan kembali pulang.
Keesokan harinya, Fatimah datang lagi ke rumah Muti’ah, kali ini Fatimah ditemani oleh Hasan dan Husain. Mereka bertiga mendatangi rumah Muti’ah. Setelah memberi salam dan dijawab gembira (oleh Muti’ah), masih dari dalam rumah, Muti’ah bertanya (kepada Fatimah), "kau masih ditemani oleh Hasan, Fatimah? Suami saya sudah memberi izin”. “Saya ditemani Hasan dan Husain” jawab Fatimah. "kenapa kemarin tidak bilang (kalau) dengan Husain? Saya hanya mendapat izin (dari suami saya) cuma Hasan sedangkan Husain belum (mendapat izin). Terpaksa saya tidak bisa menerimanya," dengan perasaan menyesal Muti’ah kali ini juga menolak mengajak masuk Fatimah ke rumahnya.

Dan keesokan harinya, Fatimah kembali lagi (ke rumah Muti’ah), mereka disambut baik oleh perempuan itu dirumahnya. Keadaan rumah Muti’ah sangatlah sederhana, tak ada satupun perabot mewah yang menghiasi rumah itu. Namun, semuanya tertata dengan teratur dan rapih. Tempat tidur yang terbuat dari kayu kasar juga terlihat bersih, alasnya yang putih, dan terlihat baru dicuci. Bau dalam ruangan itu harum dan sangat segar, membuat orang betah tinggal di rumah tersebut. Fatimah sangat kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu, sehingga Hasan dan Husain yang biasanya tak begitu betah berada di rumah orang lain, kali ini mereka nampak betah dan asyik sekali bermain-main.

"Maaf ya, saya tidak bisa menemani Fatimah duduk dengan tenang, sebab saya harus menyiapkan makanan untuk suami saya" kata Muti’ah sambil mondar-mandir dari dapur menuju ruang tamu. Menjelang tengah hari, masakan itu sudah siap semuanya, kemudian ditaruh di atas nampan. Kemudian Muti’ah mengambil cambuk dan meletakkannya di atas nampan disamping makanan tersebut. "Suamimu bekerja dimana?" Tanya Fatimah. "di ladang." jawab Muti’ah. "(suami mu) pengembala?" tanya Fatimah lagi. "Bukan, (suami ku) bercocok tanam". "tetapi, mengapa kau bawakan cambuk?" tanya Fatimah. "Cambuk itu ku sediakan untuk keperluan lain. Maksudnya begini, kalau suami saya sedang makan, lalu kutanyakan kepadanya apakah masakan saya cocok (enak) atau tidak. Kalau dia mengatakan cocok, maka tak apa-apa. Tetapi kalau dia mengatakan tidak cocok, cambuk itu akan saya berikan kepadanya, agar punggung saya dicambuknya, sebab berarti saya tidak bisa melayani suami dengan baik dan menyenangkan hatinya". "Apakah itu kehendak suamimu?" tanya Fatimah keheranan. "Oh, bukan, Suami saya adalah seseorang yang lembut dan penuh kasih sayang. Ini saya lakukan karena kehendak ku sendiri, agar aku jangan sampai menjadi istri yang durhaka kepada suami." jawab Muti’ah.

Mendengar penjelasan (dari Muti’ah) itu, Fatimah menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia memohon diri, selanjutnya pamit pulang. "Pantas kalau Muti’ah kelak menjadi seorang perempuan yang pertama kali masuk surga." kata Fatimah di dalam hati, di tengah perjalannya pulang. "Dia sungguh sangat berbakti sekali kepada suami dengan tulus”.

Sabtu, 02 Juli 2011

7 Golongan Manusia yang akan Dinaungi Oleh Allah


Dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu,

1.    Pemimpin yang adil, 

2.    Pemuda yang tumbuh dengan ibadah kepada Allah (selalu beribadah),

3. Seseorang yang hatinya bergantung kepada masjid (selalu melakukan shalat berjamaah di dalamnya),

4.    Dua orang yang saling mengasihi di jalan Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah,

5.    Seseorang yang diajak perempuan berkedudukan dan cantik (untuk bezina), tapi ia mengatakan: “Aku takut kepada Allah”,

6.    Seseorang yang diberikan sedekah kemudian merahasiakannya sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang dikeluarkan tangan kanannya, dan

7.    Seseorang yang berdzikir (mengingat) Allah dalam kesendirian, lalu meneteskan air mata dari kedua matanya.” (HR Bukhari)